Kamis, 02 Oktober 2014

(Resensi Novel) Satu Keping by Sri Izzati


Hari ini, semesta berkontemplasi
Pemuda itu duduk di sebelah gadis kecil
Dan semesta dengarkan
Apa yang mereka harus katakan
Tentang hujan
Tentang mengapa langit berawan
Tentang kesedihan
Tentang analogi-analogi
yang tidak masuk akal

Hari ini, semesta berkontemplasi
Pemuda itu guratkan luka di hati gadis kecil
Seiris saja
Seujung jari saja
Kecil saja
Namun cukup untuk memperingatinya

Hari ini, semesta berkontemplasi
Jangan menangis lagi.


Jujur. Pertama aku baca novel ini enggak ngerti sama sekali makna apa yang mau disampaikan oleh kak Izzati. Biasanya, di novel-novel kak Izzati sebelumnya--  *Ciee Pengikut novel kak Izzati dari jaman KKPK niyeee* -- walaupun ceritanya sederhana, tapi kita bisa langsung mengambil maknanya, menyelami emosi si tokoh dan hanyut dalam cerita.

Mungkin karena efek enggak pernah baca tulisan kak Izzati lagi selama bertahun-tahun, dan sekarang dihadapkan dengan buku barunya yang--pastinya-- gaya bahasa dan cara penyampaian alur ceritanya sudah sangat berbeda. *Noh kak, makanya sering-sering nerbitin buku kayak dulu lagi*

Maka, aku memutuskan membaca untuk yang kedua kalinya. Mencoba untuk mengikuti alur, mencoba menyelami perasaan Ariana, menggambarkan siapa Kelana, dan memahami setiap puisi yang kak Izzati tuliskan.

Dan ternyata...
Sensasinya...
It feels like...

J  L  E  B. 
Netes...
Hiks...



Kalau kita emang benar-benar menyelami perasaan Ariana, gejolak emosi yang dia rasakan, Novel ini bakalan asli bikin kalian galau berkepanjangan.

Kak Izzati berhasil menyampaikan secara utuh apa yang Ariana rasakan. 
Tentang sakitnya sebuah kehilangan.
Tentang rindu yang tak tersampaikan.
Tentang hati yang harus merelakan.
Tentang pahitnya sebuah perpisahan.
Tentang perasaan risau disetiap penantian.
Juga tentang sebuah kesadaran untuk sekedar melepaskan.

"...you wouldn't be wearing a 'mask' by saying 'everything is okay' when actually nothing is."
 Karena sesungguhnya, setiap orang di dunia ini hanya memakai topeng. Untuk menutupi kerapuhan mereka, untuk berpura-pura kuat, untuk menutupi sisi kelam dari wajah mereka. Dan seperti Ariana...

Untuk menghindari kenyataan pahit yang memang seharusnya dihadapi. 
Untuk menghindari akhir yang menyedihkan.
Untuk menunda kata perpisahan.

"Dia mungkin telah tinggalkan kepingan benih yang pahit, tapi aku berjanji, aku takkan lagi biarkan satu keping itu tumbuh lebih jauh. Yang akan kubawa dalam lamunan hanyalah yang baik-baik saja, yang indah-indah saja."
Karena pada akhirnya, memang hanya satu keping kenangan yang akan kita simpan dari sebuah perpisahan. Kepingan kebahagiaan yang akan menghangatkan setiap memori tentangnya.

 ***

Dan walaupun disini banyak (mungkin hampir semua) percakapannya enggak pakai dialog tag.
 Tapi, aku bisa tetap merasakan setiap kejujuran menyesatkan dan kebohongan yang memilukan disetiap kata yang Ariana ucapkan.
Aku bisa ikut senyam-senyum saat Kelana bercanda garing.
Aku bisa ikut berbunga-bunga saat Kelana mulai mengeluarkan pujian-pujian untuk Ariana.
Aku bisa ikut tersenyum getir saat secara tak langsung, dalam obrolan mereka, telah menggambarkan jelas bahwa keduanya tak bisa bersatu. Bahwa keduanya memang seharusnya berpisah. Bahwa keduanya sama-sama memilih untuk tetap mengacuhkan fakta menyakitkan itu.

Setelah membaca buku ini, setidaknya aku tahu, bahwa sekeras apapun kamu mencoba, kata perpisahan tetap mengiringi setiap langkahmu bersamanya. Tetap menunggumu mengakui keberadaannya. Tetap menanti akan datangnya keberanian untuk sekedar saling mengucap.

Tidak apa.
Aku akan mencoba untuk mengenang tanpa rasa sakit.

Sayonara.

***
Wihiiiii... akhirnya selesai bikin #IniResensiku untuk buku Satu Keping.
Resensi di atas murni curhatan dari hati. *Eaakk
Salam cantik dulu deh buat penulisnya tercintahhh.
Muach muach Kak Izzati :*   { }